Pernah baca novel yang judulnya “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi? Ha? Gak pernah? Payah ah! Hahahaha! Bercanda deh.. buat yang gak tau, coba cari dan baca novel tersebut, karena novel ini Feminis Gelombang ke-dua banget!
Oke, gak mungkin kan gue ketik semua isi novel-nya di sini, keriting lah ini sepuluh jari, maka dari itu gue ketik garis besar novel ini yah:
Fokus utama novel ini adalah seorang gadis bernama Firdaus, dan adegan dibuka dengan si Firdaus ini lagi diwawancara oleh seorang jurnalis mengenai kenapa gadis ini dipenjara karena membunuh seorang pria. Adegan kemudian flashback ke masa kecil Firdaus. Firdaus ini nasibnya sial pake banget: sejak kecil diperkosa pamannya, dinikahin secara paksa (catatan à dijual!) oleh pamannya kepada seorang pria tua kaya raya namun rakus, diceraikan setelah dihajar oleh si suami, kabur dari rumah, lalu diangkat jadi pelacur, dikhianati cinta, dan saat salah satu pelanggannya ingin memakai Firdaus sementara ia sedang datang bulan, Firdaus muak lalu dihabisi lah si pelanggan. Adegan kemudian ditutup dengan Firdaus yang menunggu hukuman mati.
Terus terror maskulinisme terhadap perempuannya mana? Oke gue bakal bahas yah, terutama dari segi kalimat yang dilontarkan Firdaus.
—MAJOR SPOILER ALERT—
Kita bahas poin-poin penting dari kalimat Firdaus di novel ini yah
Saat ditanya pertama kali alasan ia membunuh si pria, Firdaus menjawab:
“…semua lelaki yang saya kenal telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat: untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka…”
“…tetapi karena saya perempuan, saya tak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan saya.”
Ini artinya apa? Kalimat ini berarti terror maskulinisme datang dalam bentuk sub-altern tubuh perempuan dan pengekangan oleh lelaki. Jauh di dasar diri perempuan, terdapat hasrat untuk memberontak dan menolak pengekangan-pengekangan sistem patriarki tersebut, akan tetapi hasrat tersebut tidak pernah (lebih tepatnya tidak diperbolehkan) ‘ada’ akibat dari sistem patriarki tersebut. Ini berarti adanya konstruksi yang dibentuk oleh lelaki bahwa wanita harus “tahu adat”.
“Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian dia akan pergi tidur. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa terror terhadap perempuan berada dalam tahap Simbolisme, khususnya dalam ranah domestic. Di sini, perempuan adalah beban atau objek bagi kuasa kaum lelaki.
Selain itu, saat Firdaus dijual ke Syekh Mahmoud, seorang pria tua kaya namun serakah, dengan tujuan mas kawin berupa dua ratus pon, ini menjadi penanda bahwa adanya komodifikasi perempuan. Tidak sampai di situ, setelah Firdaus dipukul oleh Syekh Mahmoud, dia kabur ke rumah Pamannya, tapi Pamannya bilang apa coba? Nih:
“Semua suami memukul istrinya. Suami yang paham agama itulah yang suka memukul istrinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hal itu. Seorang istri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya adalah kepatuhan yang sempurna.”
Selain menjadi penanda untuk pemerkosaan dalam pernikahan (dan kedunguan kaum lelaki), kalimat pamannya menjadi penanda pula bahwa maskulinisme menggunakan wacana agama untuk meneror kebebasan hak kaum perempuan.
Setelah lelah dipermainkan lelaki, akhirnya Firdaus balas dendam. Balas dendam dengan cara apa? Dengan cara menjadi pelacur. Ini kalimatnya:
“…karena banyak sekali lelaki dan saya ingin memilih dengan siapa saya ingin berkencan.”
“…Kunci pembuka teka-teki yang sudah saya ucapkan: ‘Berapa Kau mau bayar?’’
Ini menjadi penanda bahwa kebebasan tubuh Firdaus menjadi senjata maut dalam menindas lelaki, karena dengan pengakuan dirinya sebagai pelacur, Firdaus mempunyai Kekuasaan dengan siapa saja ia mau ‘bertransaksi’
Ketika sang Jurnalis mewawancarai mengapa ia menjadi pelacur dan mengapa ia membenci pernikahan, Firdaus berkata:
“…seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada seorang pelacur kehilangan nyawanya… kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga”
“…lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu… mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka…”
“…yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk wanita”
“…tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya orang yang cerdas, maka saya lebih menyukai menjadi pelacur bebas daripada menjadi istri yang diperbudak.”
Dari penuturan Firdaus ini, kita bisa melihat makna atau pesan tersembunyi bahwa maskulinisme, dalam melegalkan dan membuat seola-olah wajar tindakan terror terhadap perempuan baik fisik atau mental, menggunakan berbagai cara, namun yang paling umum adalah menggunakan perempuan. Pernikahan adalah terror simbolistik yang dipatuhi oleh perempuan, bahwa tubuh perempuan adalah budak paling murah untuk dikendalikan.
Dan saat diwawancara mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan olehnya, Firdaus berkata:
“Saya adalah seorang pembunuh, tetapi saya tidak melakukan kejahatan. Seperti kalian, saya hanya membunuh penjahat.”
“Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki—beribu-ribu orang dibunuh tiap hari—tetapi karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup… kebenaran saya itulah yang menakutkan mereka”
Dari kalimat ini, kita bisa lihat maknanya lho! Bahwa Keadilan, kebenaran, kejahatan dibentuk oleh laki-laki maskulinis sehingga terciptalah mitos. Dengan kebenaran yang dipegang, Firdaus keluar dari mitos tersebut, dan itulah yang menjadi ketakutan lelaki.
—KESIMPULAN—
Novel “Perempuan Di Titik Nol” oleh Nawal El Saadawi ini adalah bentuk suara perempuan di Timur Tengah mengenai terror yang dihadapi mereka, baik di ranah privat ataupun public. Asal tahu aja lho, novel ini dobrakan kelompok feminis terhadap kesemena-menaan kaum lelaki Timur Tengah yang meng-objek-an perempuan. Dan tahu gak sih~~ Nawal El Saadawi menjadi buronan di Timur Tengah karena novel ini, menjadi tanda lain betapa mitos-mitos maskulinisme begitu melekat erat di budaya daratan itu.
Jadi, ada yang mau baca novelnya? Bagus lho! WAJIB! *kibas-kibas buku “Perempuan Di Titik Nol*